Surga Orang Kaya dan Orang Miskin

Di suatu hari yang indah untuk berkendara, saya mendengar ceramah seorang Ustad di salah satu radio muslim populer. Sang Ustad berkata bahwa orang miskin bisa cepat masuk surga karena hartanya sedikit atau tidak memiliki harta, sedangkan orang kaya akan susah masuk surga karena yang di hisabnya banyak. Well, setiap ada Ustad yang berceramah seperti itu, saya gemas mendengarnya. Andai saya mendengar ceramah Ustad tersebut secara langsung, ingin rasanya menginterupsi. Seolah-olah sang Ustad membenarkan orang Muslim jadi miskin saja supaya tidak perlu banyak dihisab dan segera masuk surga. Ceramah yang terdengar sangat menyenangkan tentunya bagi muslim Indonesia tercinta yang memang banyak orang malas dan miskinnya. Padahal do’a Nabi Muhammad SAW setiap hari adalah

“Allahumma inni a’udzubika minal kufri wal faqri ” Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kekufuran dan kemiskinan. Benar. Kemiskinan itu dekat dengan kekufuran. Berapa banyak orang miskin di Indonesia yang menggadaikan akidahnya hanya demi sebungkus Indomie saking miskinnya.

Sebaliknya, Islam mengajarkan umatnya untuk menjadi kaya. Bukan tanpa sebab, karena ibadah-ibadah Muslim banyak yang memerlukan biaya, seperti pergi Haji, zakat, wakaf, memberi makan orang miskin, membebaskan budak, mendirikan masjid, dll. Pertanyan kepada Ustad tersebut adalah, apakah Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf susah masuk surga karena mereka kaya?

Saya pikir yang benar adalah mengajarkan umat Islam harus menjadi muslim yang kaya, namun hidup sederhana atau minimal tidak berlebih-lebihan. Saya agak miris melihat mindset ‘miskin’ umat Islam saat ini yang di usia produktif senang dan berlomba-lomba dikategorikan miskin demi mendapat bantuan-bantuan walaupun sebenarnya mampu untuk bekerja. Jika ada pembagian zakat, berapa banyak yang berebutan sampai terinjak-injak bahkan ada yang meninggal. Menurut saya, yang layak mendapat bantuan adalah usia non produktif (anak di bawah umur dan lansia), orang yang sedang sekolah, atau orang sakit yang berhalangan untuk bekerja yang langsung diberikan kepada yang bersangkutan. Sebagai muslim haruslah memiliki rasa malu. Malu meminta-minta, malu jika usia produktif, otak dan otot masih bisa dipakai, tapi tidak bekerja. Jika alasan tidak ada pekerjaan di tempat tinggal sekarang ya lebih baik merantau ke tempat yang sedang membutuhkan pekerjaan. Merantau ke luar pulau, atau bahkan merantau ke negara lain yang kekurangan tenaga kerja seperti Jepang dan Jerman.

Bekerjalah apapun yang penting halal. Bagi saya kuli angkut di pasar lebih mulia daripada meminta-minta. Jangan mengeluh. Bekerjalah dengan pendapatan berapapun yang penting tidak menganggur dan menjadi beban umat dan negara. Jangan mengeluh. Bekerjalah, walaupun kau tidak bisa menggunakan otakmu, minimal ototmu masih bisa dipakai. Pakailah mindset bahwa kita umat Islam itu harus kaya, supaya bisa optimal melakukan ibadah-ibadah kepada-Nya. Berapa banyak orang-orang yang bisa terbantu dengan zakatmu, wakafmu, infaqmu jika kamu menjadi muslim yang kaya. Berpikirlah bagaimana untuk bisa memberi, bukan diberi. Tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah. Berapa banyak pembangunan masjid dan tempat pendidikan yang terbengkalai karena umat Islam kekurangan biaya hingga harus meminta-minta sumbangan di jalanan. Saya belum pernah melihat orang-orang meminta di jalan untuk pembangunan gereja. So, apa yang salah dengan mentalitas “miskin” umat Islam Indonesia? Jika dulu tidak ada Utsman bin Affan muslim yang kaya yang mampu membeli sumur dengan harga sangat mahal dari orang Yahudi, tentulah umat Islam banyak yang menderita karena kekurangan air.

Ada pemalas yang pernah bilang ke saya Rasulullah SAW itu miskin, ingin rasanya saya getok orang malas dan miskin yang berkata seperti itu. Rasulullah memilih hidup miskin sebagai pemimpin untuk menghindari fitnah. Menghindari fitnah dari orang-orang yang berkata Rasulullah SAW menjadi nabi atau pemimpin demi memperkaya dirinya. Sekarang saja Rasulullah SAW masih ada saja yang mencaci maki, apalagi jika Rasulullah SAW memperkaya diri ketika jadi pemimpin dengan cara mengambil harta pengikutnya?? Makin banyak orang kafir yang akan mencaci maki. Pemimpin itu adalah pelayan. Tidak pantas pemimpin memperkaya diri dengan cara mengambil harta rakyatnya atau pengikutnya. Jadilah kaya dengan bekerja atau beriwirausaha. Bukan memperkaya diri dan keluarga dengan cara memalak sodaqoh dari jama’ah seperti salah seorang “Ustad”. Uupsss. Kesal rasanya dengan orang-orang seperti itu yang jualan ayat-ayat-Nya untuk memperkaya diri dan keluarganya, apalagi sampai pamer-pamer harta, benar-benar tidak pantas! Sangat merugikan image Islam. Belum lagi pemimpin yang mengaku muslim tapi memperkaya diri dengan mengambil uang rakyat. Big No!!

Lagipula Rasulullah SAW sebelum diangkat menjadi Nabi adalah orang kaya! Jika tidak mana mungkin Rasulullah SAW memberi mahar 20 ekor unta betina pada Khadijah yang nilainya sekarang bisa 1 Milyar! Dan Rasulullah SAW sudah berdagang sejak umur 12 tahun, ketika usia 25 tahun menikah (usia matang), artinya sudah 13 tahun berdagang. Tidak seperti sekarang, anak-anak muda di bawah umur disuruh menikah muda tapi bahkan penghasilan belum punya, apalagi kebanyakan dari keluarga tidak mampu yang berlandaskan mahar hanya seperangkat alat sholat, sangat kontras dengan mahar Rasulullah SAW. Belum orang tua yang memaksakan hajatan anak dengan cara hutang sana sini. Alhasil terjadilah lingkaran setan kemiskinan dan perceraian karena masalah ekonomi prevalensinya sangat tinggi di Indonesia. Pusing kepala saya melihat kelaziman seperti ini di Indonesia. 🙁 Padahal banyak jalan untuk menghindari zina selain dengan menikah, salah satunya dengan giat bekerja selagi muda atau menuntut ilmu sehingga tidak punya waktu untuk memikirkan selangkangan, atau bahkan anjuran puasa jika belum mampu menikah. Jangan latah melihat artis-artis atau public figure menikah muda, mereka memiliki privilege karena berasal dari keluarga kaya yang siap membiayai popok dan susu cucunya. Atau pun jika mereka menikah muda memang sudah memiliki bisnis yang sukses sejak usia muda.

Alkisah ada ulama yang diminta lebih dahulu masuk pintu surga, tapi sang ulama menolak dan mengatakan, “Saya hanya menyampaikan ilmu Allah, dan saya tidak ada artinya kalau tanpa kedermawanan dan kebaikan orang kaya.” So, jadilah orang kaya nan dermawan sehingga bisa lebih dulu masuk surga bahkan dibandingkan ulama sekalipun. (sumber: https://nu.or.id/daerah/siapa-yang-paling-awal-masuk-surga-NZD0V)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *