Alhamdulillah beberapa waktu lalu saya berkesempatan mengunjungi Belanda untuk menghadiri konfrensi mahasiswa farmasi sedunia. Konfrensi ini bertepatan dengan bulan Ramadhan dan hari raya Idul Fitri, sehingga kami berkesempatan untuk merasakan puasa dan Idul Fitri di negeri Belanda. Puasa di negeri yang mayoritas penduduknya non muslim memang butuh perjuangan lebih. Di mana begitu banyak makanan enak yang dihidangkan panitia tanpa perlu membayar lagi. Di tambah dengan musim panas yang sedang berlangsung di Belanda, cukup membuat kerongkongan kami kering. Selain itu karena sedang musim panas, siang menjadi lebih panjang, sehingga kami harus puasa hingga 19 jam. Memang kurang bersahabat bagi orang Indonesia yang biasanya puasa sekitar 14 jam. Walaupun begitu kami harus bersyukur, karena di Norwegia sana, puasa ketika musim panas bisa sampai 24 jam! Karena matahari bersinar sepanjang hari. Teman saya yang seorang muslim Swedia bercerita, puasa di negaranya 22 jam, sehingga selama 2 jam mereka tidak berhenti makan. 😆
Berbeda dengan di tanah air, Ramadhan di sini memang kurang begitu terasa. Akan tetapi tetap tidak mengurangi perasaan nikmatnya berbuka. Walaupun saya memiliki maag, saat puasa di Belanda maag saya tidak pernah kambuh, bahkan tidak ada perasaan lapar sama sekali, hanya dehidrasi yang sangat karena udara memang sangat kering. Saking dehidrasinya, ketika berbuka air mineral terasa seperti air garam. Tetapi benar-benar sangat nikmat ketika berbuka dengan sesama saudara muslim di sini. Bak oase di padang pasir, kami bisa melepaskan dahaga kami.😊
Hingga tiba waktunya Idul Fitri. Dari sebelum keberangkatan kami ke Belanda, kami sudah memutuskan untuk shalat di Denhaag, kota di mana mahkamah peradilan internasional berada. Dan juga kota di mana terdapat berbagai kedutaan besar dan banyak orang Indonesianya. Serunya saya berkenalan dengan lurah (saya tidak tau harusnya menyebutnya apa) setempat yang merupakan orang Indonesia. Kami juga berencana sepulang dari shalat Ied di Masjid Al-Hikmah Indonesia, kami akan pergi ke tempat wisata terkenal di Denhaag Belanda, yaitu Madurodam, tempat wisata yang berisi miniatur kota-kota dan tempat wisata di Belanda. Ada yang bilang jika tidak sempat berkunjung ke seluruh kota di Belanda, maka datanglah ke Madurodam.
Kami sudah melihat di website kedutaan, shalat ied akan dilakasanakan pukul 10 pagi waktu setempat. Mengetahui hal tersebut, kami mencari di internet dan memperhitungkan lamanya perjalanan kami dari Utrecht ke Masjid Al-Hikmah di Deenhaag, lamanya sekitar 1,5 jam. Kami berangkat pukul 8 dan kami prediksikan kami akan tiba pukul 9.30. Tapi yang namanya takdir, tidak ada yang bisa dicegah. Kami tertahan di kantor polisi stasiun Utrecht!😓
Jadi ceritanya saat teman saya membayar tiket kereta ke Denhaag dari Utrecht, dia membayar menggunakan uang 50 euro. Sudah merupakan pemandangan umum di Belanda, jika membayar dengan uang kertas, uang tersebut akan di-check dengan sebuah alat pendeteksi keaslian uang. Selama ini kami tidak pernah menemukan masalah dengan keaslian uang euro yang kami bawa dari Indonesia. Akan tetapi lain dengan hari tersebut, tepat di hari Idul Fitri, kami dicurigai membawa uang palsu! Awalnya kami mencoba menggunakan uang 50 euro yang lain, mungkin saja bisa. Tapi sayang sekali, petugas loket tidak mau menerima uang kami dan malah memanggil polisi stasiun!
Akhirnya polisi stasiun pun datang, dan kami ditanyai darimana mendapatkan uang tersebut. Kami menjawab dari Indonesia. Dan kami pun menunjukkan paspor kami. Kami mengatakan kami sedang menghadiri konferensi mahasiswa farmasi di Utrecht dan hari itu berniat shalat Ied di Denhaag. Setelah mendapat penjelasan dari kami, polisi itu pun akhirnya percaya (walaupun saya sedikit tidak percaya dengan mereka hehe). Akan tetapi kami tetap disuruh oleh mereka untuk ke kantor polisi karena mereka ingin mengecek kebenaran uang kami, karena bisa saja uang tersebut asli dan alat pendeteksinya yng rusak. Dan mereka berjanji jika itu memang uang palsu, kami akan diberikan surat keterangan penggantian uang palsu menjadi uang asli. Di perjalanan ke kantor polisi, tampak kami menjadi sorotan orang-orang di stasiun, bagaimana tidak? Kami bertiga menggunakan kerudung dan dikawal beberapa orang polisi. Yah, walaupun tangan kami tidak diborgol, tetap saja kami merasa jadi seperti tersangka. Rasanya tidak lucu jika kami masuk penjara karena membawa uang palsu sedangkan di sisi lain para pahlawan kita di tangkap Belanda karena mempertahanka kemerdekaan. Yang benar saja?🙁 Ketika di perjalanan, waktu sudah menunjukkan pukul 8.30. Masih ada 1,5 jam sebelum shalat Idul Fitri dimulai.
Di kantor polisi, teman saya yang mengeluarkan uang tersebut mulai menangis. Dia takut sekali uang tersebut akan menjadi masalah. Toh kalaupun kami tidak dipenjara, dia juga merasa sangat rugi karena uang 50 euro itu tidak bisa digunakan. Dan dia sama saja kehilangan 700 ribu!
Ada yang menarik kawan dari kantor polisi Belanda. Di Belanda ini kamu akan merasakan mudahnya akses wifi di mana-mana. Kamu bisa internetan dimanapun, entah itu di jalan, di stasiun, atau di kereta. Akan tetapi, ketika kami mencoba membuka internet di kantor polisi untuk memastikan waktu shalat Ied, fasilitas wifi tersebut sama sekali tidak berjalan! Sungguh luar biasa kawan! Karena kami fikir bisa saja ada penjahat yang menggunakan internet di kantor polisi sebelum interogasi untuk menghilangkan bukti-bukti. Di tengah kecemasan tidak bisa shalat Ied, kami sempat-sempatnya kagum dengan sistem di Belanda. ^^’
Waktu sudah menjukkan pukul 9.30 ketika akhirnya polisi tersbut keluar dan mengatakan bahwa uang kami bukan uang palsu. Ternyata uang tersebut adalah uang lama dan sudah tidak bisa terdeteksi lagi oleh alat pendeteksi. Dia menawarkan untuk menemani kami menukar uang tersebut di money changer. Tapi karena kami sedang mengejar shalat Ied, kami mengucapkan terima kasih dan memutuskan penukaran uang tersebut diurus di lain waktu. Waktu sudah menunjukkan jam 9.30 dan estimasi kami tiba pukul 10.30. Terlambat 30 menit dari waktu seharusnya. Di saat seperti itu kami masih sempat-sempatnya berharap walaupun di Belanda, jam karet orang Indonesia masih ada. Kami berharap shalat Ied belum dimulai. At least, masih khutbah atau ada 2 kloter shalat. Benar saja kawan, kami tiba pukul 10.30. Terlambat 30 menit.
Ketika kami tiba, di halaman masjid tampak orang-orang Indonesia dan etnis lainnya tumpah ruah bersalam-salaman dan merapikan koran-koran yang digunakan sebagai sajadah. Ketika kami bertanya ke marbot masjid, beliau mengatakan tidak ada kloter ke-2 dan sangat menyayangkan mengapa kami terlambat. Beliau mengatakan kalau mau shalat Ied paling tidak datanglah 30 menit sebelum shalat dimulai. Rasanya kami tidak sanggup menjelaskan kenapa sampai telat, kami hanya bisa terduduk lemas.. Karena sebenarnya jika kami tidak ditahan di kantor polisi selama satu jam, kami tentu akan tiba tepat pukul 9.30. Tepat 30 menit sebelum shalat! Dan nyatanya karena kami ditahan 1 jam, kami tiba pukul 10.30. 😭 Bapak marbot tersebut pun menawarkan kami untuk ikut makan bakso dan ikut open house di kedutaan. Akhirnya kami memutuskan untuk shalat dhuha terlebih dahulu sebelum makan bakso.
Suasana di masjid Al-Hikmah benar-benar menyenangkan kawan, banyak sekali orang Indonesia, bahkan berbagai etnis dunia shalat di masjid ini. Melihat betapa banyaknya orang Indonesia dan suasana lebaran seperti di Indonesia, saya merasa seperti tidak di Belanda. Kami pun mengantri bakso dan berkenalan dengan salah seorang adik perempuan yang baru lulus SMA dan baru satu bulan tinggal di Belanda. Ibunya menikah lagi dengan pria Belanda. Dia sangat senang bertemu kami. Karena baru satu bulan di Belanda, dia belum punya banyak teman. Selain itu, dia sangat senang melihat kami karena memakai jilbab yang cukup lebar. Saat itu memang dia memakai jilbab ala kadarnya karena ada beberapa bagian yang terbuka. Dia bercerita bahwa di SMA dulu dia menggunakan jilbab yang lebar dan sudah mentoring. Akan tetapi, sebelum ke Belanda, ibunya menyuruhnya melepaskan jilbabnya karena dikhawatirkan dia tidak bisa bergaul di Belanda dengan jilbabnya itu. Saat itu dia benar-benar merasa tertekan, karena tidak banyak yang bisa dia lakukan. Dia masih di bawah umur, dan hak asuhnya ada pada ibunya. Sehingga apa daya dia mencuri-curi waktu menggunakan jilbab. Jika sedang bersama ibunya dia tidak menggunkan jilbab, tetapi jika tidak bersama ibunya dia menggunakan jilbab. Hingga suatu hari dia ketahuan menggunakan jilbab, ibunya marah sekali kepadanya, dan tidak mau berbicara kepadanya. Bahkan dia tidak dikasih uang saku untuk beberapa waktu.
Saya menunduk sedih mendengar ceritanya, karena alasan khawatir tidak bisa bergaul karena menggunakan jilbab merupakan alasan yang omong kosong. Saat ini begitu mudah menemukan orang berjilbab di Belanda. Jika ada yang tidak mau bergaul karena kita menggunakan jilbab, carilah teman yang mau menerima kita apa adanya. Saya pun memberikan saran agar dia tetap berprilaku baik pada ibunya dan berdo’a agar ibunya diberi hidayah. Dan dia harus segera mencari komunitas Islam atau pengajian untuk menguatkannya. Saya pun membantunya menghubungkan dengan senior saya di Belanda agar adik tersebut bisa tetap mentoring. Karena butuh komunitas yang bisa menguatkan adik tersebut. Walaupun sekarang tidak bisa menggunakan jilbab, dan mencuri-curi waktu untuk menggunakan jilbab, seperti saat shalat Ied ini (bahkan ibunya menyuruhnya melepaskan jilbab setelah shalat Ied), paling tidak keinginan untuk berjilbab tersebut harus selalu tertanam di hatinya. Jika kelak sudah bisa mandiri dan tidak bergantung ke orang tua, kenakanlah jilbab dan tetap berprilaku yang baik kepada orang tua seperti perintah di Al-Quran. Semoga saja ibunya mendapat hidayah. ^^
Kemudian kami juga berkenalan dengan seorang muslimah asli Belanda yang baru setahun memeluk Islam dan sudah menggunakan jilbab. Saya pun bertanya bagaimana perasaanya setelah memeluk Islam, dia merasa bahagia sekali, baginya sulit untuk dilukiskan dengan kata-kata. Dia merasa dirinya yang menggunakan kerudung saat ini lebih dihargai. Terutama oleh laki-laki. Laki-laki jadi lebih menghargai dengan tidak berani sembarangan kepada muslimah tersebut. Syukur Alhamdulillah dia tidak merasakan rintangan yang berarti ketika memeluk Islam. Walaupun pekerjaan yang menerima muslimah berjilbab masih terbatas. Tetapi jika kamu ke swalayan di Belanda, misalnya saja ke swalayan terkenal Belanda, Albert Heijn, kamu bisa melihat beberapa petugas menggunakan kerudung.
Setelah berbincang-bincang dan makan bakso, kami memutuskan untuk ke Madurodam. Sebenarnya kami ingin ikut open house di kedutaan yang baru dimulai setelah pukul 12. Akan tetapi, karena di sore hari kami ada workshop di Utrecht, kami memutuskan untuk langsung saja ke Madurodam.
Namun Allah punya takdir yang lain buat kami, kami lupa bahwa kami tidak membawa uang yang cukup untuk pergi ke Madurodam. Bahkan untuk pulang! Semuanya karena kasus uang palsu tadi. Akhirnya kami pun bertanya ke beberapa orang Indonesia mengenai mesin atm terdekat. Setelah berjalan beberapa meter kami menemukan mesin atm, sayang mesin atm tersebut tidak menerima logo mastercard. Setelah berjalan ke sekeliling, kami tidak menemukan mesin atm lainnya. Kami pun kembali ke masjid. Di masjid ada seorang Bapak baik hati yang bersedia mengantarkan kami ke atm dengan menggunakan mobilnya. Walaupun wajah bapak ini mirip orang Indonesia, tapi bahasa Indonesia-nya benar-benar terpatah-patah. Beliau pun mengakui bahwa beliau adalah orang Indonesia keturunan. 75% Indonesia, 25% Belanda. Beliau lahir di Belanda dan hanya sesekali ke Indonesia.
Beliau bercerita bahwa beliau adalah mualaf. Neneknya di masa penjajahan Indonesia menikah dengan orang Belanda. Akan tetapi ayahnya menikah dengan orang Indonesia dan kembali ke Indonesia. Ayahnya adalah muslim. Pernikahan neneknya dengan orang Belanda memang membuat keluarganya terpecah dua agamanya, ada yang Katolik, dan ada yang Islam. Beliau sendiri dulu beragama Katolik. Hingga 3 tahun lalu beliau memutuskan untuk memeluk Islam. Beliau pun bercerita, ketika ayahnya meninggal, tantenya di Indonesia mengiriminya satu buku berisi surat Yasin, ketika itu beliau tidak tahu isinya apa. Karena tidak mengerti, beliau letakkan buku tersebut di dashboard mobilnya. Hingga suatu hari beliau penasaran dan pergi ke masjid Al-Hikmah untuk menanyakan artinya. Ketika mengetahui artinya dia benar-benar tersentuh. Isinya sangat indah. Dan beliau pun jadi sering ke masjid Al Hikmah dan masjid lainnya untuk bertanya mengenai Islam. Hingga tidak berapa lama kemudian beliau memutuskan untuk masuk Islam. Dan merasakan hidupnya jauh lebih indah ketika masuk Islam. Sulit diungkapkan dengan kata-kata bagaimana bahagianya beliau masuk Islam. Beliau mengatakan, jika beliau diberi dunia berisi emas di tangan kanannya, dan dunia berisi perak di tangan kirinya, beliau tidak akan pernah mau menggadaikan keyakinannya! Pernah suatu hari ketika beliau membetulkan atap rumahnya, ada seberkas sinar matahari menembus jendela di atap rumahnya (tipikal rumah Belanda). Cahaya tersebut indah sekali, dan dia sangat yakin, tidak ada yang mungkin bisa menciptakan cahaya yang indah tersebut jika tidak ada Tuhan di dunia ini. Segala sesuatunya pasti ada yang mengatur. Kini tidak ada lagi yang beliau fikirkan selain bagaimana memperoleh ridho Allah dan masuk surga di akhirat kelak. Keinginannya saat ini hanya satu, beliau ingin pergi haji! Beliau sangat merindukan rumah Allah. Beliau memang sedang mengumpulkan uang karena biaya pergi haji dari eropa memang cukup mahal. Insya allah 3 tahun lagi jika masih ada umur, beliau akan ber-haji. Ketika beliau menceritakan kisahnya tersebut, beliau sedikit menitikkan air mata. Entah kenapa saya dan teman saya pun ikut menangis, seperti ada sesuatu yang menusuk di hati saya. Saya melihat wajah yang begitu bahagia dari Bapak tersebut.. Tidak terasa air mata kami terus berlinang, membuat Bapak tersebut minta maaf karena membuat kami menangis. Tidak Pak, kami menangis bukan karena Bapak, tapi karena kami malu, walaupun sebagai seorang muslim dari lahir, terkadang kami masih tidak bersyukur dan lalai akan perintah-Nya. :”” Beliau pun meminta kami mendo’akan agar anak dan istrinya yang masih Katolik mendapat hidayah Allah.
Setelah turun dari mobil beliau dan mengucapkan terima kasih, kami masih saja meneteskan air mata haru. Begitulah kawan, selalu ada hikmah di balik setiap perjalanan. Berjalanlah sejauh mungkin untuk terus mencari kebesaran-Nya. Semakin jauh kamu berjalan, akan semakin banyak kebesaran Allah yang kamu temukan. Dengarlah cerita-cerita mualaf di seluruh dunia, karena kamu akan semakin bersyukur terlahir sebagai seorang muslim. Nikmat Islam adalah nikmat yang paling berharga di antara seluruh nikmat yang diberikan-Nya. Karena apapun amal yang kamu lakukan, tidak ada artinya jika tidak beriman.
Walaupun akhirnya tidak bisa shalat Ied, kami bersyukur karena bisa mendengarkan cerita para mualaf yang penuh hikmah. Terutama Bapak tadi, jika tidak ada kejadian di stasiun tadi, tentu kami memiliki uang dan tidak bertemu Bapak tadi untuk diantarkan ke atm.
Saya berharap dalam waktu kurang dari 3 tahun lagi saya bisa kembali menjejakkan kaki di benua biru dan belajar dari para mualaf di sana. Jika bisa, ingin juga rasanya mengajarkan Al-Quran untuk para mualaf di sana yang masih kekurangan tenaga pengajar Al-Quran. Bismillah. Allahu Akbar!
masjid Al-Hikmah di Denhaag yang dikelola komunitas muslim Indonesia
Next : Sepenggal Kisah dari TKW di Abu Dhabi
Previous : Sedikit Tentang Eropa, Indonesia, dan Muslim
Leave a Reply